Monday, March 26, 2012

KDI - Kekerasan Dalam Islam

Semua orang paham bahwa dalam Islam yang namanya khamr, perjudian, perzinahan dan semua tindakan maksiat hukumnya adalah haram. Islam memandang haram karena perbuatan ini dapat merugikan dan merusak kehidupan orang islam itu sendiri. Namun bagaimana halnya dengan pemikiran keras atau pemikiran radikal dalam Islam? Haramkah, atau sah-sah saja?.

Jika kita mengambil tolak ukur ‘kerugian’ dan ‘kerusakan’ dalam konsep Islam, tentu orang islam yang memiliki pemikiran yang keras alias pemahamannya hanya sebatas halal dan haram, boleh dan tidak boleh, sah dan tidak sah seperi ini yang mengakibat dampak kerusakan begitu luas dalam Islam. Dengan istilah lain, kerugian orang islam karena perilaku maksiat seperti perjudian dan lain-lain itu hanya bersifat individual, tetapi kerusakan dan kerugian orang islam karena pemikiran yang keras dan radikal, radiasinya sangat luas.

Berbicara masalah pemikiran keras dan radikal dalam Islam (kafir sana kafir sini yang pada akhirnya menghalalkan darah sesama muslim) pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa setelah wafatnya baginda Muhammad SAW, kepemimpinan Islam dipimpin oleh khalifah Abu Bakr ash-shidiq, kemudian Umar bin Khatab, Ustman bin ‘affan dan terakhir Ali bin Abi Thalib yang dalam perkembangan sejarah disebut dengan istilah khulafa ar-rasyidin.

‘Ustman bin ‘Affan termasuk dalam golongan pengusaha Quraisy yang kaya, dan ahli sejarah menggambarkan bahwa beliau orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi keluarganya menginginkan jabatan gubernur di daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Alhasil, gubernur-gubernur yang diangkat oleh khalifah umar bin khatab, khalifah yang terkenal sebagai sosok yang kuat dan tidak memikirkan kepantingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Ustman dan digantikan oleh anggota keluarganya.

Tindakan politik yang dilakukan ‘Ustman ini ditentang oleh para sahabat Nabi SAW yang semula mendukungnya. Sikap dan perasaan tidak senang terhadap ‘Ustman bin ‘Affan-pun muncul diberbagai daerah, di Mesir sebagai reaksi atas dijatuhkannya ‘Umar ibn al-‘As yang digantikan oleh Abdullah ibn Sa’d Ibn Abi-Sarh salah satu anggota keluarga ‘Ustman, ratusan pemberontak berkumpul dan bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana panas di Madinah mangakibatkan wafatnya ‘Ustman bin ‘Affan karena pembunuhan.

Sepeninggal sayyidina ‘Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi kandidat terkuat untuk menjabat sebagai khalifah keempat. Namun tidak lama Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah tantangan demi tantangan bermunculan dari pihak-pihak yang juga menginginkan jabatan kekhalifahan, terutama Talhah dan Zubaer yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Namun perlawanan dari ‘Aisyah, Talhah dan Zubaer ini dipatahkan oleh Ali bin Abi Thalib dalam sebuah peperangan yang terjadi di Irak, Talhah dan Zubaer tewas terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.

Tantangan berikutnya datang dari Mu’awiyah, seorang Gubernur Damaskus yang juga merupakan keluarga dekan bagi ‘Ustman bin ‘Affan, seperti halnya Talhah dan Zubaer, Mu’awiyah tidak mau mangakui Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ia menuntut khalifah Ali untuk menghukum orang-orang ynag membunuh ‘Ustman bahkan ia menuduh Ali turut campur masalah pembunuhan khalifah ketiga tersebut. Hal ini didasarkan pada salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh ‘Ustman bin Affan adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali bin Abi Thalib. Dan juga khalifah terakhir ini tidak mengambil langkah keras para pemberontak tersebut, bahkam Muhammad ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir.

Dalam pertempuran yang terkadi Siffin, tentara Ali bin Abi Thalib mampu mendesak tentara Mu’awiyah namun tangan kanan Mu’awiyah, ‘Amru ibn al-‘As yang dikenalsebagai orang yang licik, mengajukan perdamaian dengan mengankat al-Qur’an keatas. Qurra’ yang ada di pihak Ali, mendesak Ali bin Abi Thalib agar menerima perdamaian tersebut. Sebagai pengantara diangkatlah dua orang, yaitu ‘Amru ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘Amru mengalahkan rasa Takwa Abu Musa al-Asy’ari. Sejarah Islam mengatakan bahwa antara keduanya terdapat kesepakatan yaitu bersepakat untuk menjatuhkan kedua pemimping (Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah). Sebagaimana tradisi dalam sebuah masyarakat, yang lebih sepuh atau tua (Abu Musa al-Asy’ari) maju terlebih dahulu untuk menyampaikan putusan dan yang lebih muda meju setelahnya, dalam pengumuman yang disampaikan Abu Musa al-Asy’ari sontak membuat kaget semua orang karena beliau menyampaikan putusan sebagaimana yang telah disepakati dengan ‘Amru ibn al-‘As, namun ‘Amru ibn al-‘As berkata lain, dia sepakat untuk menjatuhkan Ali bin Abi Thalib, namun menolak penjatuhan Mu’awiyah, tentu hal ini sngat merugikan Ali dan menguntungkan mu’awiyah.

Ali bin Abi Thalib tidak menyetujuai –meskipun dalam keadaan terpaksa- Ali menerima tipu muslihat perdamaian pihak Mu’awiyah. Karena mereka berpendapat masalah sepeti itu tidak dapat diputuskan oleh Manusia. Mereka berpendapat bahwa putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Laa hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), dalil ini yang dijadikan semboyan oleh mereka-mereka yang beraliran keras dalam Islam yang pada akhirnya akan berujung pada sikap pengkafiran terhadap sesama muslim. Maka wajarlah jika mereka yang menentang tindakan Ali bin Abi Thalib keluar dari barisan Ali, dan mereka dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Khawarij.

Semboyan kelompok khawarij ‘laa hukma illa lillah’ ini didasarkan pada Ayat al-Qur’an: man lam yahkum bimaa anzalallaahu faulaaika humulkaafiruun (siapa yang tidak mengambil hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang kafir), oleh karena itu berdasarkan dalil diatas Khawarij menganggap bahwa Ali, Muawiyah dan ‘Amru ibn al-‘As adalah kafir karena mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah, dan mereka wajib diperangi serta halal untuk dibunuh.

Mulai dari sinilah aliran-aliran keras, sesat bermunculan dalam Islam, keras dan sesat karena mereka terlalu kaku dalam memahami ayat al-qur’an, tidak bisa membedakan mana dalil untuk syariat islam dan mana dalil untuk tauhidul islam.

Demikian sepenggal sejarah dalam Islam yang dapat kami tuliskan, berawal dari masalah diatas terus bermunculan dan berkembanya jenis-jenis aliran dalam Islam seperti, qadariyah, jabariyah dan lain-lain, Anda bisa mencari informasi lebih lengkap dalam buku-buku berjudul teologi Islam.

0 komentar:

Post a Comment

Komentar