Wednesday, March 28, 2012

Pondok Pesantren Hasyim Asy'arie

Pesantren Hasyim Asy’arie - Pondok Pesantren Berbasis Kemandirian

Syarat awal untuk menjadi santri di pesantren ini adalah mandiri alias menyetop kiriman dana dari orang tua. Setiap santri wajib menulis, terutama menulis di media massa. Honor yang di peroleh dari menulis di media massa itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dari sekian banyak pesantren yang ada di Yogyakarta, dengan berbagai ciri khas dan basis pendidikan serta pengajarannya, kita tentu tidak mengira jika ada sebuah pesabtren yang mayoritas santrinya berkarir sebagai penulis. Pesantren tersebut adalah Pesantren Hasyim Asy’arie yang terletak di kota gudeg. Hampir setiap minggu, nama-nama para santri menghiasi media massa di Indonesia baik lokal maupun nasional. Mungkin bagi sebagian masyarakat Indonesia nama pesantren ini masih belum begitu termasyhur. Namun dikalangan pesantren terutama di pulau jawa, kalangan pelajar, akademisi serta media massa nama pesantren yang satu ini sudah tidak asing lagi.

Secara geografis, pesantren ini terletak di sebelah selatan dusun Krapyak Kulon (Kec.Sewon, Bantul) alias di sebelah barat komplek Q PonPes Putri al-Munawwir Krapyak. Secara historis, pesantren ini berdisi pada 22 Mei 2001 dibawah asuhan KH. Zainal Arifin Thoha. Gus Zainal –panggilan akrab beliau- adalah seorang penyair, kolumnis, penulis buku, penerjemah kitab, serta aktif dalam mengisi pengajian dibeberapa daerah. Selain dikenal ulet, sosok kelahiran kediri 5 Agustus 1972 ini juga dikenal anti genggsu. Faktanya, sebagai pengasuh pesabtren, beliau tidak merasa malu meskipun pernah nyambi sebagai pedagang krupuk. Selain itu Gus Zainal mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta sekaligus menjadi pengurus Anshor Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pesantren yang menapak usia 11 tahun ini pada mulanya hanya memiliki dua orang santri yaitu Hayun Faiza (Kediri) dan Salman Rusydi Anwa (Madura), namun seiring dengan berjalannya waktu jumlah santri semakin bertambah. Hingga sampai tahun keenam sejak berdirinya pesantren ini jumlah santrinya sudah mencapai 45 orang santri tetap dan 10 orang santri kalong (santri yang tidak menetap_tempat tinggalnya). Mereka mayoritas berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa dan Madura, bahkan dari berbagai pulau di tanah air. Hebatnya, 90% dari mereka adalah seorang penulis. Proses kawah candradimuka penulis ini tak terhambat oleh kanyataan bahwa rumah yang dijadikan pesantren ini adalah rumah kontrakan. Ya, benar-benar ngontrak, sumber dananya adalah dari kocek pribadi Gus Zainal sendiri serta pajak menulis seiklasnya dari para santri, selebihnya ada pula warga yang menyediakan rumah secara Cuma-Cuma bagi para santri. Untunglah saat ini telah dibangun Asrama santri diatas tanah wakaf.

Kalau dilihat dari namanya, tentunya pembaca mengira bahwa semua santrinya adalah mahasiswa. Padahal kenyataanya tidaklah demikian,hanya sekitar 80% dari mereka yang mahasiswa dan selebihnya santri biasa yang ingin belajar mengembangkan keilmuannya tentang menulis, atau sekedar ingin belajar wirausaha.

Walaupun pesantren ini berusia belia, namun telah memiliki struktur kepengususan dan kegiatan yang tetap. Hal ini terbukkti dengan berbagai kegiatan yang telah terealisasikan dalam setiap periodenya, misalnya, kajian kitab klasik, diskusi rutin, dialog kebangsaan dll. Ini tidak terlepas dari peran Gs Zainal dalam membimbing santri-santrinya untuk selalu produktif dalam berkarya serta kreatif dalam berfikir.

Pesantres Hasyim Asy’arie tergolong unik jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren lainnya, karena di pesantren ini Gus Zainal menerapkan konsep mandiri secara mutlak setelah melalui beberapa tahapan tertentu. Dalam tiga bulan pertama, santri masih diperbolehkan meminta biaaya dari orang tuanya, setelah tiga bulan sambil berproses menulis,para santri dituntut untuk membiaya dirinya sendiri, baik dengan berwirausaha sendiri, bekerja di home industri atau pekerjaan lain yang ada disekitar pesantren yang sekiranya tidak mengganggu kegiatan kuliah dan proses menulis.

Selain itu keunikan lain yang tidak bisa kita temukan di pesantren lain adalah ketika santri yang sudah senior, dalam arti telah berhasil mengibarkan karyanya di media massa minimal tiga kali, maka secara otomatis akan menjadi pembina bagi yang belum berhasil dimuat di media massa.

Dengan keuletan, kesabaran serta istiqamahnya Gus Zainal, pesantren ini mampu melahirkan penulis-penulis muda yang berbakat. Dan tulisan para santri telah dimuat Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Sindo, Koran Tempo, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan, Majalah Genta, Horison, Kedaulatan Rakyat, Bernas dan sebagainya. Dalam upaya implementasi dimensi spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas ini, Gus Zainal juga berperan aktif dalam mendorong para santri untuk hidup mandiri. Dimensi inilah yang secara langsung menurut para santri bersinggungan dengan kehidupan yang riil. Para santri diuji tingkat tawakkal, keyakinan dan juga sejauh mana para santri menambatkat optimisme kepada Allah SWT berkaitan dengan rezeki, belajar dan menjalin interaksi sosial di masyarakat yang masif dan harmonis.

Maka, dari ketiga dimensi yang dibangun dan sekaligus menjadi jargon pesantren inilah, Gus Zainal mengajak pada seluruh santri untuk berjalan beriringan menerapkan dimensi tersebut dalam satu integritas yang termanifestasikan dalam satu hadist khairun naas anfa’uhum linnaas (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain) dalam kehupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aula_

0 komentar:

Post a Comment

Komentar